Sejak dulu sudah banyak rupa-rupa anak muda negeri
ini, sesuai dengan perilaku dan hobinya. Ada yang gemar bermain musik,
membaca,
berdebat, mengumpulkan perangko, berorganisasi dan lain sebagainya sampai pada
hal negatif sekalipun. Tapi, kini kemajuan zaman telah membuat ragamnya semakin
kompleks, terutama sejak munculnya media sosial. Muncul pula sekarang istilah
kepo, baper, cabe-cabean, terong-terongan yang identik dengan anak muda.
Bila mereka itu kita
anggap sebagai barang yang dijual di supermarket, tentu zaman sebagai pembeli
akan semakin kesulitan memilih satu yang menjadi emasnya. Atau bisa jadi juga
sebaliknya, sebab zaman begitu kaya, maka semua akan dibelinya.
Pada kenyataannya
sejarah hanya pernah mencatat beberapa pemuda saja yang menjadi emas zamannya.
Misalnya pada peristiwa Sumpah Pemuda yang kita peringati beberapa hari lalu,
hanya puluhan pemuda Sugondo Djoyo Puspito Cs lah yang dicatat zaman. Padahal
tentu saja pada zaman itu bangsa ini memiliki puluhan ribu lain pemuda.
Bisa juga bila kita
melihat ke negeri Amerika sana, kita akan bertanya mengapa Kennedy, anak muda
dari Partai Republik itu yang terpilih menjadi presiden untuk memimpin negeri
itu pada masa perang dingin, padahal di sana pun tak kurang orang pandai dan
hebat. Sekali lagi, jawabannya adalah karena zaman telah memilih.
Kembali pada masa
sekarang, konon bangsa ini sedang menuju masa
bonus demografi. Sebuah masa yang
hanya akan terjadi sekali dalam sejarah sebuah bangsa, yakni ketika anak-anak
muda usia produktif lebih banyak ketimbang usia yang tak produktif. Artinya,
akan lebih banyak yang menanggung beban daripada yang ditanggung.
Sejarah juga
mencatat, setidaknya yang ditulis oleh wikipedia, bahwa Tiongkok bisa menjadi
sebesar sekarang, selain tentu karena Nabi Muhammad telah mensabdakannya, juga
karena adanya bonus demografi yang mampir di negeri itu pada tahun 80-an hingga
awal milenium. Negeri itu punya generasi produktif, dan Den Xiaoping,
pemimpinnya waktu itu mampu membuat skema yang menjadi pondasi kebesaran yang
mereka nikmati sekarang, dengan membangkitkan semangat kerja dan melakukan
diaspora.
Nah, pertanyaannya
apakah negeri yang konon tanah Atlantis yang hilang ini akan mampu menjadi
besar sama seperti atau lebih dari Tiongkok? Tentu peluang itu ada. Setiap
bangsa punya kesempatan untuk besar, begitulah janji Tuhan. Tapi, takdir itu
tidak akan bernilai apapun bila tak diusahakan oleh kaum yang menginginkannya.
Persoalannya,
manusia tidak sama dengan hewan. Manusia punya akal dan berpolitik, sedang
hewan tidak. Sementara, dua kelebihan manusia itu seringkali jadi bumerang juga
di negeri ini. Syahwat politik yang besar dari politisi yang ada di negeri ini,
menjadikan akal tak lebih dari sekadar mencari akal-akalan tuk mendapat
kekuasaan.
Dalam hal ini,
karena lagi zamannya bonus demografi, anak muda pun menjadi komoditas politik
paling berharga. Pemilih dalam jumlah yang besar. Walhasil, segala usaha untuk
merebut simpati mereka pun dilakukan, jargon pemimpin berjiwa muda, misalnya.
Bila kita melihat
pada sosok Jokowi, tentu saja ia tak bisa disebut muda lagi. Tapi, dengan
jargon demikian, ia mencoba masuk ke khalayak muda. Biar lebih pulen, menonton
musik metal, membuat konser dan memakai flanel laiknya Curt Cobain pun
dilakukan. Apa hasilnya? Ya, dia terpilih menjadi presiden dengan pemilih
mayoritas anak muda yang kemudian berfoto selfie dua jari setelah mencoblos.
Lantas, salahkah
yang dilakukan Jokowi? Tidak sama sekali. Sebaliknya, yang salah adalah kita.
Sebagai anak muda kita terlalu cepat larut dalam euforia yang diciptakan
olehnya. Kita terlalu cepat merasa terwakili oleh sosoknya.
Seharusnya, kita
khawatir dengan adanya pemimpin berjiwa muda. Sebab, menurut Jean Piget,
psikolog yang mengembangkan teori perkembangan kognitif, kaum muda dimasukkan
dalam tahap pemikiran formal-operasional (formal-operational thought). Pada
masa ini, mereka mencoba menyusun hipotesa dan menguji berbagai alternatif
pemecahan masalah hidup sehari-hari. Artinya masih suka coba-coba.
Selanjutnya Piget
pun menambahkan, kbila kaum muda itu akan cenderung terjebak dalam masa yang
menuntunnya untuk pergi ketika alternatif-alternatif dilakuan untuk memecahkan
persoalan telah gagal. Tentunya itu sangat berbahaya bila pemimpin negeri ini
demikian. Bisa jadi negeri ini akan hancur. Tanpa didemo sekalipun, ia akan
meninggalkan tanggungjawabnya.
Maka dari itu,
sebaiknya pemimpin negeri ini adalah yang telah dewasa, bijak dan tenteram di
dalam kedalaman dirinya. Sehingga, keputusan-keputusan yang diambilnya adalah
kepastian, bukan hipotesa semata. Tidak seperti kenyataan yang ada hari ini,
ketika satu hipotesa yang dikeluarkan gagal, maka sibuk mencuci tangan. Lari
dari persoalan.
Namun, tak berarti yang berusia tua dan melulu serius, sebab belum tentu
demikian pula.
Bisa jadi malah
semena-mena. Menuntut dihormati saja. Acuh. Bahwa kedewasaan berpikir tak
melulu soal usia. Kita yang muda pun bisa. Pun tak perlu sampai mengorbankan
kesenangan. Cukup mampu bersikap sesuai tempatnya saja. Tetap main musik,
pacaran, haha hihi, tapi berdamai dengan diri sendiri dan keadaan pun perlu.
Sebab seperti itulah yang akan menjadi emas zamannya.