Senin, 21 Maret 2016

Muda Boleh Tapi Tidak Dewasa Jangan


 Sejak dulu sudah banyak rupa-rupa anak muda negeri ini, sesuai dengan perilaku dan hobinya. Ada yang gemar bermain musik, membaca, berdebat, mengumpulkan perangko, berorganisasi dan lain sebagainya sampai pada hal negatif sekalipun. Tapi, kini kemajuan zaman telah membuat ragamnya semakin kompleks, terutama sejak munculnya media sosial. Muncul pula sekarang istilah kepo, baper, cabe-cabean, terong-terongan yang identik dengan anak muda.
Bila mereka itu kita anggap sebagai barang yang dijual di supermarket, tentu zaman sebagai pembeli akan semakin kesulitan memilih satu yang menjadi emasnya. Atau bisa jadi juga sebaliknya, sebab zaman begitu kaya, maka semua akan dibelinya.
Pada kenyataannya sejarah hanya pernah mencatat beberapa pemuda saja yang menjadi emas zamannya. Misalnya pada peristiwa Sumpah Pemuda yang kita peringati beberapa hari lalu, hanya puluhan pemuda Sugondo Djoyo Puspito Cs lah yang dicatat zaman. Padahal tentu saja pada zaman itu bangsa ini memiliki puluhan ribu lain pemuda.
Bisa juga bila kita melihat ke negeri Amerika sana, kita akan bertanya mengapa Kennedy, anak muda dari Partai Republik itu yang terpilih menjadi presiden untuk memimpin negeri itu pada masa perang dingin, padahal di sana pun tak kurang orang pandai dan hebat. Sekali lagi, jawabannya adalah karena zaman telah memilih.
Kembali pada masa sekarang, konon bangsa ini sedang menuju masa bonus demografi. Sebuah masa yang hanya akan terjadi sekali dalam sejarah sebuah bangsa, yakni ketika anak-anak muda usia produktif lebih banyak ketimbang usia yang tak produktif. Artinya, akan lebih banyak yang menanggung beban daripada yang ditanggung.
Sejarah juga mencatat, setidaknya yang ditulis oleh wikipedia, bahwa Tiongkok bisa menjadi sebesar sekarang, selain tentu karena Nabi Muhammad telah mensabdakannya, juga karena adanya bonus demografi yang mampir di negeri itu pada tahun 80-an hingga awal milenium. Negeri itu punya generasi produktif, dan Den Xiaoping, pemimpinnya waktu itu mampu membuat skema yang menjadi pondasi kebesaran yang mereka nikmati sekarang, dengan membangkitkan semangat kerja dan melakukan diaspora.
Nah, pertanyaannya apakah negeri yang konon tanah Atlantis yang hilang ini akan mampu menjadi besar sama seperti atau lebih dari Tiongkok? Tentu peluang itu ada. Setiap bangsa punya kesempatan untuk besar, begitulah janji Tuhan. Tapi, takdir itu tidak akan bernilai apapun bila tak diusahakan oleh kaum yang menginginkannya.
Persoalannya, manusia tidak sama dengan hewan. Manusia punya akal dan berpolitik, sedang hewan tidak. Sementara, dua kelebihan manusia itu seringkali jadi bumerang juga di negeri ini. Syahwat politik yang besar dari politisi yang ada di negeri ini, menjadikan akal tak lebih dari sekadar mencari akal-akalan tuk mendapat kekuasaan.
Dalam hal ini, karena lagi zamannya bonus demografi, anak muda pun menjadi komoditas politik paling berharga. Pemilih dalam jumlah yang besar. Walhasil, segala usaha untuk merebut simpati mereka pun dilakukan, jargon pemimpin berjiwa muda, misalnya.
Bila kita melihat pada sosok Jokowi, tentu saja ia tak bisa disebut muda lagi. Tapi, dengan jargon demikian, ia mencoba masuk ke khalayak muda. Biar lebih pulen, menonton musik metal, membuat konser dan memakai flanel laiknya Curt Cobain pun dilakukan. Apa hasilnya? Ya, dia terpilih menjadi presiden dengan pemilih mayoritas anak muda yang kemudian berfoto selfie dua jari setelah mencoblos.
Lantas, salahkah yang dilakukan Jokowi? Tidak sama sekali. Sebaliknya, yang salah adalah kita. Sebagai anak muda kita terlalu cepat larut dalam euforia yang diciptakan olehnya. Kita terlalu cepat merasa terwakili oleh sosoknya.
Seharusnya, kita khawatir dengan adanya pemimpin berjiwa muda. Sebab, menurut Jean Piget, psikolog yang mengembangkan teori perkembangan kognitif, kaum muda dimasukkan dalam tahap pemikiran formal-operasional (formal-operational thought). Pada masa ini, mereka mencoba menyusun hipotesa dan menguji berbagai alternatif pemecahan masalah hidup sehari-hari. Artinya masih suka coba-coba.
Selanjutnya Piget pun menambahkan, kbila kaum muda itu akan cenderung terjebak dalam masa yang menuntunnya untuk pergi ketika alternatif-alternatif dilakuan untuk memecahkan persoalan telah gagal. Tentunya itu sangat berbahaya bila pemimpin negeri ini demikian. Bisa jadi negeri ini akan hancur. Tanpa didemo sekalipun, ia akan meninggalkan tanggungjawabnya.
Maka dari itu, sebaiknya pemimpin negeri ini adalah yang telah dewasa, bijak dan tenteram di dalam kedalaman dirinya. Sehingga, keputusan-keputusan yang diambilnya adalah kepastian, bukan hipotesa semata. Tidak seperti kenyataan yang ada hari ini, ketika satu hipotesa yang dikeluarkan gagal, maka sibuk mencuci tangan. Lari dari persoalan.
Namun, tak berarti yang berusia tua dan melulu serius, sebab belum tentu demikian pula.
Bisa jadi malah semena-mena. Menuntut dihormati saja. Acuh. Bahwa kedewasaan berpikir tak melulu soal usia. Kita yang muda pun bisa. Pun tak perlu sampai mengorbankan kesenangan. Cukup mampu bersikap sesuai tempatnya saja. Tetap main musik, pacaran, haha hihi, tapi berdamai dengan diri sendiri dan keadaan pun perlu. Sebab seperti itulah yang akan menjadi emas zamannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar